Pelaksanaan Contra Legem Hakim sebagai Solusi Menyelesaikan Perkara Isbat Nikah Dibawah Umur
Oleh: Maya Anggraeni Rahmah Permana, S.H.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Hidup bersama merupakan sebuah kodrat manusia baik bagi seorang pria maupun wanita yang tidak dapat dihindari untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Untuk itu, harus diadakan ikatan dan pertalian yang kekal dan tidak mudah diputuskan yaitu akad nikah dan ijab kabul pernikahan. Pernikahan merupakan suatu ikatan personal antara dua individu dan menjamin hak-hak hukum keluarga dan anak. Perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.
Di Indonesia, perkawinan diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang bertujuan untuk memastikan bahwa setiap perkawinan dilakukan secara sah menurut agama dan dicatatkan sesuai hukum yang berlaku. Dalam UU Perkawinan diatur beberapa hal, yang salah satunya adalah mengenai legalitas perkawinan, yaitu dalam Pasal 2 UU Perkawinan dinyatakan bahwa "(1) perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing, (2) tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku." Hal ini menunjukkan perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan masyarakat setempat telah sah di menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Sahnya perkawinan dimata negara telah ditetapkan pada Pasal 2 ayat 2 yakni harus di catatkan kepada pegawai pencatatan perkawinan.[1] Namun, meski terdapat aturan hukum yang kuat, pada kenyataannya masih banyak praktik nikah siri atau perkawinan tidak tercatat. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti keterbatasan ekonomi, ketidaktahuan masyarakat tentang pentingnya pencatatan, serta keinginan untuk menghindari aturan hukum tertentu, seperti batas usia minimal. Perkawinan siri dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun nikah menurut agama, tetapi tidak dicatatkan secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat dan di catatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi penganut agama lain.[2] Dengan tidak ada pencatatan tersebut maka perlindungan hukum yang terkait hak-hak bagi pihak perempuan menjadi sangat lemah. Pentingnya pencatatan perkawinan dilakukan agar suami istri memiliki salinan buku akta perkawinan. Hal ini dapat digunakan bilamana terjadi sebuah permasalahan maka keduanya dapat melakukan upaya hukum untuk mempertahankan haknya, terutama bagi perempuan agar haknya dilindungi oleh undang-undang yang menyangkut hak untuk mendapatkan nafkah, tempat tinggal, warisan dan harta gono gini bila terjadi perceraian.
[1] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[2]Bab II Pasal 2 PP No 9 Tahun 1975