Implementasi Pemenuhan Hak Perempuan dan
Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Agama Buntok
(Abdulloh Mubarok Al Ahmady, S.H.I., M.E)
- Pendahuluan
Perlindungan perempuan dan anak telah menjadi isu penting dalam dunia modern. Untuk menjamin kesetaraan gender dan masa depan generasi penerus, perempuan dan anak harus memperoleh perlindungan dari segala macam bentuk gangguan, ancaman, kekerasan dan eksploitasi.
Dalam perkawinan, istri dan anak merupakan suatu amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat harkat dan martabat manusia seutuhnya. Untuk itu, telah diatur dalam aturan hukum nasional mengenai perlindungan perempuan dan anak antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 dan Nomor 5 Tahun 2019, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 serta beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung RI yang berkaitan dengan perlindungan perempuan dan anak.
Dalam aturan tersebut, tujuan pemenuhan hak perempuan dan anak diantaranya sebagai berikut:
- Meningkatkan kualitas perlindungan hak perempuan.
- Meningkatkan kualitas perlindungan khusus terhadap anak.
Selain itu, untuk mengurangi disparitas putusan Mahkamah Agung telah mengeluarkan beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun Berjalan Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan berkaitan dengan Pemenuhan Hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lapangan mengenai perlindungan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian di Pengadilan Agama Buntok. Masalah dalam penelitian ini dibatasi dan dirumuskan sebagai berikut:
- Bagaimana perlindungan hak-hak perempuan pasca perceraian di Pengadilan Agama Buntok?
- Bagaimana perlindungan hak-hak anak pasca perceraian di Pengadilan Agama Buntok?
- Hukum Perlindungan Hak Perempuan Pasca Perceraian.
Suami dan istri mempunyai hak yang sama yakni dapat mengajukan gugatan untuk bercerai kepada Pengadilan Agama setempat. Cerai talak, jika suami yang menggugat cerai istri; dan cerai gugat atau dalam istilah fikih disebut at-tafriq al-qadha’i, jika istri yang menggugat cerai suami dengan perantaraan Pengadilan. Kedua jalan perceraian tersebut melahirkan akibat hukum terkait hak-hak perempuan pasca perceraian.
Untuk melindungi hak perempuan dan anak, agama telah memberikan aturan yang jelas. Aturan tersebut sebagai rambu-rambu bagi suami untuk berpikir ulang tidak menelantarkan perempuan sebagai mantan istri. Hal ini berdasarkan pada Al-Qur'an surat At-Talaq ayat 7:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا
Artinya: "Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan."[1]
Ketentuan hukum perlindungan hak perempuan tercantum dalam Pasal 41 huruf c Undang-undang perkawinan menjelaskan akibat dari perceraian bagi seorang suami kepada istri, berbunyi “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri”.
Selanjutnya Ketua Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada perempuan atau istri yang digugat oleh suami atau istri yang menggugat suami, berhak mendapatkan penghargaan dari suaminya. Berdasarkan PERMA tersebut pengadilan berkewajiban:
- Mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum sesuai dengan asas non diskriminasi, persamaan di muka hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
- Mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan diskriminasi.
- Menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan.
- Mempertimbangkan kesetaraan gender dalam putusan.
- Mencegah segala perkataan, sikap, dan perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat perempuan yang berhadapan dengan hukum.
- Memfasilitasi perempuan berhadapan dengan hukum yang mengalami hambatan fisik dan/atau psikis.
Kemudian Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung yang biasa disebut SEMA untuk mengurangi disparitas putusan berkenaan dengan hak-hak perempuan pasca perceraian.
Penjelasan selanjutnya akan dibahas mengenai hak-hak istri pasca perceraian baik akibat cerai talak maupun cerai gugat, diikuti dengan aturan SEMA berkaitan dengan hak-hak istri.
- Hak-hak Istri Akibat Cerai Talak
Istri yang ditalak oleh suaminya berhak mendapatkan mut’ah, iddah, mahar yang terhutang dan nafkah terutang (madlyah) sebagai bagian dari pelaksanaan perintah Allah SWT kepada para suami agar selalu pergauli istri dengan prinsip imsak bi ma’ruf au tasrih bi ihsan (yaitu mempertahankan ikatan perkawinan dengan kebaikan atau melepaskan (menceraikan) dengan kebajikan).
Adapun aturan perlindungan perempuan diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan sebagaimana disebutkan di atas dan aturan sebagaimana tercantum sebagai berikut:
Nafkah terutang (madlyah) adalah nafkah wajib yang dilalaikan oleh suami sehingga menjadi utang, berdasarkan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan, “Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Selain itu dalam Pasal 77 ayat (5) KHI juga mengatur, “Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama”.
Adapun hak-hak istri yang ditalak oleh suami diatur dalam Pasal 149 KHI, bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
- memberikan mut'ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul;
- memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba'in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
- melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qobla al dukhul.
Para ulama sepakat bahwa hukum 'iddah adalah wajib.[2] Allah swt. berfirman dalam surat Al-Baqarah [2]: ayat 228, artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’."
Dan berdasarkan hadis Rasulullah saw. berkata Fatimah binti Qais, “Jalanilah masa ‘iddah mu di rumah Ummu Maktum."
Kemudian mut’ah merupakan kenang-kenangan dari mantan suami kepada mantan istrinya berupa barang atau sejumlah uang. Mut’ah diatur dalam Pasal 158 KHI, mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
- belum ditetapkan mahar bagi isteri bada al dukhul.
- perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159, “Mut'ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syara tersebut pada pasal 158”.
Pasal 160, “Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami”.
Kemudian berdasarkan SEMA No. 1 Tahun 2017, Rumusan Hukum Kamar Agama angka C.1., “Dalam rangka pelaksanaan Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak Perempuan pasca perceraian, maka pembayaran kewajiban akibat perceraian, khususnya nafkah iddah, mut’ah dan nafkah madliyah, dapat dicantumkan dalam amar putusan dengan kalimat dibayar sebelum pengucapan ikrar talak. Ikrar talak dapat dilaksanakan bila istri tidak keberatan atas suami tidak membayar kewajiban tersebut pada saat itu”.
- Hak-hak Istri Akibat Cerai Gugat
Akibat hukum dari perceraian atas inisiatif perempuan (cerai gugat) hanya diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan sebagaimana telah tersebut di atas. Walaupun demikian banyak yurisprudensi yang telah memberikan pertimbangan bahwa pemberian akibat perceraian tidak gugur karena inisiatif istri mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Beberapa yurisprudensi yang mengatur hal tersebut adalah Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 137 K/ AG/2007 tanggal 6 Februari 2008 dan Nomor 02 K/AG/2002 tanggal 6 Desember 2003.
Kaidah hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 137 K/ AG/2007 tanggal 6 Februari 2008 berbunyi, “Istri yang menggugat cerai suaminya tidak selalu dihukumkan nusyuz. Meskipun gugatan perceraian diajukan oleh istri tetapi tidak terbukti istri telah berbuat nusyuz, maka secara ex officio suami dapat dihukum untuk memberikan nafkah iddah kepada bekas istrinya, dengan alasan bekas istri harus menjalani masa iddah, yang tujuannya antara lain untuk istibra' yang juga menyangkut kepentingan suami.
Kemudian Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018, Rumusan Hukum Kamar Agama, angka III.3-A berbunyi, “Mengakomodir Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, maka isteri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut’ah dan nafkah iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz. Oleh karena itu, istri yang menggugat suaminya di Pengadilan Agama masih berhak mut’ah dan nafkah iddah kecuali dirinya nusyuz.
Selanjutnya berdasarkan SEMA No. 2 Tahun 2019, Rumusan Kamar Agama angka C.1.b, “Dalam rangka pelaksanaan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka amar pembayaran kewajiban suami terhadap istri pasca perceraian dalam perkara Cerai Gugat dapat menambahkan kalimat sebagai berikut: “... yang dibayar sebelum Tergugat mengambil akta cerai”, dengan ketentuan amar tersebut dinarasikan dalam posita dan petitum gugatan.
- Hukum Perlindungan Hak Anak Pasca Perceraian.
Pada prinsipnya, kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Kewajiban tersebut akan berlaku selama anak belum kawin dan berdiri sendiri meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya telah putus, karena kematian, ataupun perceraian. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pemisahan pemeliharaan anak dapat dibenarkan jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah yang menunjukkan pemisahan pemeliharaan tersebut dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir, di antaranya karena adanya perceraian.
- Hadhanah (Pemeliharaan Anak)
Secara filosofis, Pasal 105 huruf (a) dan Pasal 156 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, dan dalil-dalil syari’ah, dalam kitab I’anatut Thalibin juz IV halaman 101 sebagai berikut:
والأولى بالحضانة وهى تربية من لا يستقل إلى التمييـز ام تتـزوج
Artinya : “Yang lebih utama dalam hal hadlonah yaitu pemeliharaan anak sampai umur mumayyiz adalah ibu selama ia belum menikah dengan laki-laki lain”;
Seorang ibu dianggap lebih mengerti dengan kebutuhan anak dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya pada anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun, karena anak pada usia itu sangat membutuhkan kedekatan ibunya, kecuali si ibu tersebut terbukti terdapat halangan atau tidak memenuhi syarat untuk memegang hak hadlanah.
Namun dalam penentuan pengasuh anak setelah perceraian juga mempertimbangkan aturan dalam Pasal 41 huruf a Undang-undang perkawinan menjelaskan akibat dari perceraian bagi seorang orang tua kepada anak yaitu, “Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
Penentuan siapa pengasuh anak pasca perceraian berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child), aturan tersebut sejalan dengan Pasal 2 huruf (b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Article 3 paragraph (1) Convention on the Right of the Child, menjelaskan bahwa pertimbangan utama dalam masalah anak adalah kepentingan terbaik bagi anak.
Oleh karenanya untuk menentukan siapa yang mendapat hak pemeliharaan anak (hadlonah) bukan dilihat dari siapa yang paling berhak diantara ibunya atau ayahnya, melainkan harus mengutamakan “demi kepentingan yang terbaik bagi anak (best interest of child)”. Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi No. 110 K/AG/2007, tanggal 7 Desember 2007, dengan kaidah hukum “pertimbangan utama dalam masalah hadlonah (pemeliharaan anak) adalah kemaslahatan dan kepentingan si anak, bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak. Sekalipun si anak belum berumur 12 tahun (mumayyiz).
Kemudian, dalam menilai kepetingan terbaik bagi anak, Majelis Hakim dapat mempertimbangkan tentang Komite Hak Anak PBB dalam General Comment Number 14 (2013) on the Right of the Child to Have His or Her Best Interest Taken as a Primary Consideration (Art. 3, Para. 1),[3] terdapat 7 (tujuh) unsur yang harus dipertimbangkan dalam menilai dan menentukan kepentingan terbaik bagi anak. Pertama, pendapat atau aspirasi anak. Kedua, identitas anak. Ketiga, lingkungan keluarga dan hubungan. Keempat, perawatan, perlindungan, dan keamanan anak. Kelima, situasi kerentanan. Keenam, hak atas kesehatan. Ketujuh, hak atas pendidikan.
Kemudian Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung yang biasa disebut SEMA untuk mengurangi disparitas putusan berkenaan dengan hadhanah (hak pengasuhan) adalah sebagai berikut:
- SEMA No. 3 Tahun 2015, Rumusan Hukum Kamar Agama angka 10 (sepuluh) menjelaskan Penetapan hak hadhanah sepanjang tidak diajukan dalam gugatan/permohonan, maka Hakim tidak boleh menentukan secara ex officio siapa pengasuh anak tersebut.
- SEMA No. 1 Tahun 2017, Rumusan Hukum Kamar Agama angka4. menjelaskan “Dalam amar penetapan hak asuh anak (hadhanah) harus mencantumkan kewajiban pemegang hak hadhanah memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhanah untuk bertemu dengan anaknya. Dalam pertimbangan hukum, majelis hakim harus pula mempertimbangkan bahwa tidak memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhanah dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadhanah”.
- SEMA No. 3 Tahun 2018, Rumusan Hukum Kamar Agama angkaA-9 menjelaskan, “Ketentuan SEMA Nomor 03 Tahun 2015 huruf c angka 10 disempurnakan sehingga berbunyi sebagai berikut: “Penetapan hak hadhanah sepanjang tidak diajukan dalam gugatan/permohonan, maka hakim tidak boleh menentukan secara ex officio siapa pengasuh anak tersebut. Penetapan hadhanah dan dwangsom tanpa tuntutan termasuk ultra petita”.
- Nafkah Anak
Aturan terkait dengan nafkah anak dalam Pasal 41 huruf b Undang-undang perkawinan menjelaskan akibat dari perceraian bagi seorang orang tua kepada anak yaitu: “Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”.
Secara moral, Pasal 105 huruf (c) dan Pasal 149 huruf (d) untuk cerai talak, serta Pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam untuk cerai gugat, dan dalil-dalil syari’ah, dalam kitab I’anatut Thalibin IV: 99 dan kaidah hukum Islam dalam kitab Al-Muhadzdzab II: 177 sebagai berikut:
(فرع) من له اب وام فنفقته على اب
Artinya: (Bila) anak masih memiliki ayah dan ibu, maka yang wajib menanggung nafkah (atasnya) adalah ayah
و يجب على الأب نفقة الولد
Artinya: Kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anak-anaknya;
Kemudian Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung yang biasa disebut SEMA untuk mengurangi disparitas putusan berkenaan dengan Nafkah Anak sebagai berikut:
- SEMA No. 7 Tahun 2012, Rumusan Hukum Kamar Agama angka 16 menjelaskan, kriteria penentuan besaran mut’ah, nafkah iddah dan nafkah anak adalah dengan mempertimbangkan kemampuan suami dan kepatutan, seperti lamanya masa perkawinan, besaran take-home-pay
- SEMA No. 3 Tahun 2018, Rumusan Hukum Kamar Agama angkaA-2 menjelaskan, “Hakim dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah dan nafkah anak, harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup isteri dan/atau anak”.
- SEMA No. 3 Tahun 2015, Rumusan Hukum Kamar Agama angka 11 menjelaskan, “Nafkah Anak merupakan kewajiban orang tua, tetapi amar putusan yang digantungkan pada harta yang akan ada sebagai jaminan atas kelalaian pembayaran nafkah anak tersebut tidak dibenarkan.
- SEMA No. 5 Tahun 2021, Rumusan Hukum Kamar Agama angka 1a menjelaskan, “Untuk memenuhi asas kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child) dan pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, terhadap pembebanan nafkah anak, istri dapat mengajukan permohonan sita terhadap harta milik suami sebagai jaminan pemenuhan nafkah anak dan objek jaminan tersebut diuraikan secara rinci dalam posita dan petitum gugatan, baik dalam konvensi, rekonvensi ataupun gugatan sendiri”.
- SEMA No. 3 Tahun 2015, Rumusan Hukum Kamar Agama angka 14 menjelaskan, “Amar mengenai pembebanan nafkah anak hendaknya diikuti dengan penambahan 10% sampai dengan 20% per tahun dari jumlah yang ditetapkan, di luar biaya pendidikan dan kesehatan”.
- SEMA No. 4 Tahun 2016, Rumusan Hukum Kamar Agama angka5. menjelaskan, “Pengadilan Agama secara ex officio dapat menetapkan nafkah Anak kepada ayahnya apabila secara nyata anak tersebut berada dalam asuhan ibunya, sebagaimana hal tersebut diatur dalam Pasal 156 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
- SEMA No. 2 Tahun 2019, Rumusan Hukum Kamar Agama angka1.a menjelaskan, “Nafkah lampau (nafkah madliyah) anak yang dilalaikan oleh ayahnya dapat diajukan gugatan oleh ibunya atau orang yang secara nyata mengasuh anak tersebut.
- D. Perlindungan Hak-Hak Perempuan Dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Agama Buntok
Kasus perkara gugatan yang memuat hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian di Pengadilan Agama Buntok sebanyak 40 perkara dengan rincian 29 perkara para pihak hadir dan 11 perkara verstek. Berdasarkan data pada tahun 2023 jumlah cerai talak 40 perkara dan cerai gugat 160 perkara sehingga total perkara perceraian sebanyak 200 perkara, maka perlindungan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian mencapai 20% dari perkara perceraian yang diterima.[4]
Angka tersebut didorong dengan optimalisasi mediasi sejumlah 29 perkara yang berhasil mendamaikan para pihak berkaitan dengan perlindungan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian. Adapun jumlah perkara perdata yang berhasil di mediasi meliputi cerai gugat sebanyak 34 perkara dan cerai talak sebanyak 8 perkara. Kemudian target pencapaian kinerja Pengadilan Agama Buntok khusus untuk mediasi pada tahun 2023 melebihi 100%, dengan rincian keberhasilan mediasi sebagai berikut: 10 perkara (24%) berhasil dengan akta perdamaian, 30 perkara (71%) berhasil sebagian dan 2 perkara (5%) tidak berhasil. [5]
Adapun kendala pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian di Pengadilan Agama Buntok masih rendah disebabkan beberapa faktor sebagai berikut:
- Gugatan penggugat tidak menyebutkan petitum yang menuntut tergugat memberikan nafkah mut’ah, iddah dan nafkah madliyah kepada Pengggugat.
- Gugatan penggugat tidak menyebutkan petitum yang menetapkan penggugat sebagai pemegang hak asuh anak dan tidak juga menyebutkan Tergugat memberikan nafkah anak kepada Penggugat.
- Istri hanya ingin menggugat cerai suaminya saja, tidak mempermasalahkan terkait nafkah dirinya maupun anaknya.
- Pekerjaan dan penghasilan suami tidak dapat dibuktikan oleh istri di Pengadilan Agama.
- Kasus perkara cerai talak maupun cerai gugat dengan putusan verstek tidak memuat hak-hak istri.
- Biaya eksekusi mahal, mantan istri tidak dapat mengajukan eksekusi terhadap mantan suami yang tidak menjalankan putusan tentang nafkah iddah, mut’ah dan nafkah anak secara sukarela disebabkan biaya eksekusi yang mahal tidak sesuai dengan jumlah pembayaran nafkah mantan suami.
- Mantan suami tidak bekerja dan mendapatkan penghasilan yang cukup untuk pembayaran nafkah akibat cerai dengan alasan hukum yang sah.
- E. Upaya Meningkatkan Kualitas Perlindungan Hak-hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian
Adapun upaya yang ditawarkan oleh Penulis sebagai berikut:
- Pengadilan membuat format/blanko standar gugatan Cerai Gugat yang di dalamnya terdapat dan posita dan petitum yang meminta ditetapkannya penggugat sebagai pemegang hak asuh anak serta menghukum pihak suami (tergugat) memberikan mut’ah, nafkah iddah dan nafkah anak kepada istri (Penggugat) sebelum pengambilan akta cerai. Blanko surat gugatan tersebut dapat disiapkan melalui aplikasi gugatan mandiri ataupun Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM).
- Mediator dapat melakukan perundingan terhadap perlindungan perempuan dan anak yang tidak tercantum dalam gugatan sesuai Pasal 25 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dalam hal Mediasi mencapai kesepakatan atas permasalahan di luar sebagaimana diuraikan pada ayat (1) (materi perundingan dalam Mediasi tidak terbatas pada posita dan petitum permohonan), Penggugat mengubah gugatan dengan memasukkan kesepakatan tersebut di dalam gugatan;
- Pengadilan dapat mengukur kemampuan suami dengan menggunakan jurumetri sesuai dengan surat keputusan Gubernur tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) atau surat keputusan Bupati/Walikota tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Hal tersebut sesuai dengan adagium ius curia novit atau curia novit jus, hakim dianggap mengetahui dan memahami segala hukum. Selain itu, juga sesuai dengan fakta yang telah diketahui umum sehingga tidak perlu dibuktikan biasa disebut notoire feiten.
- Pengadilan menyediakan informasi mengenai hak istri dan anak akibat perceraian, kemudian sosialisasi dalam bentuk flyer, brosur, banner, informasi di TV Media, maupun media sosial resmi Pengadilan Agama melalui website, facebook, Instagram, twitter, google map dan youtube.
Kemudian di dunia hukum juga mengenal legal maxim yang menyatakan, “justice delayed is justice denayed” yang berarti bahwa “keadilan yang tertunda merupakan suatu ketidakadilan”. Hal tersebut senada dengan penggalan risalah yang pernah dikirim Umar bin Khattab kepada hakimnya, Abu Musa al-Asy'ari 14 abad yang lalu. Umar mengatakan, "Dan segeralah laksanakan (eksekusi) hukum tersebut ketika sudah jelas. Karena tidak ada gunanya membicarakan kebenaran (menjatuhkan putusan yang benar) tapi tidak (dapat) dilaksanakan.[6] Maka solusi berikutnya dapat ditempuh dengan SEMA yang telah disebutkan di atas dan sistem yang telah digagas oleh Prof. Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.H., Ketua Kamar Mahkamah Agung Republik Indonesia saat acara pengukuhannya sebagai guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya pada hari Senin, 14 Maret 2022, berjudul Sistem Interkoneksi Putusan Pengadilan (Sebuah Pemikiran Metabolisme Biological Justice), sebagai berikut:
- Terhadap biaya eksekusi mahal, Pengadilan dapat memerintahkan kepada mantan suami agar membayar beban nafkah sebelum pengucapan ikrar talak untuk cerai talak dan sebelum mantan suami mengambil akta cerai untuk cerai gugat dan hal tersebut tercantum dalam amar putusan.
- Membuat sistem interkoneksi putusan pengadilan dengan kerja sama dengan lembaga di luar yudikatif sebagai mitra eksternal untuk efektivitas pelaksanaan putusan pengadilan pasca perceraian. Seperti melibatkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kantor Imigrasi, OJK, hingga kepolisian.
- Bagi mantan suami yang tidak memiliki penghasilan karena alasan tertentu menurut hukum, perlu ada mekanisme penjaminan sosial dari Dinas Sosial ataupun Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
- F. Penutup
- Kesimpulan
Pengadilan Agama Buntok telah melaksanakan perlindungan bagi hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian namun terdapat kendala-kendala yang dihadapinya.
Upaya peningkatan perlindungan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian terus dilakukan, hal tersebut sejalan dengan firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 229 yang artinya, “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Pengadilan Agama terus berupaya untuk menghadirkan pemerataan akses bagi pencari keadilan serta perlindungan atau keberpihakan terhadap hak-hak serta akses hukum bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum.
- Rekomendasi
Pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian perlu ditingkatkan, Pengadilan dapat mengupayakan inovasi terhadap kendala-kendala yang timbul di masyarakat, Hakim juga dituntut memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan legal reasoning yang benar, pertimbangan yang berorientasi keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan masyarakat (social justice), maka lahirlah putusan yang berkualitas.
Daftar Pustaka
Ghazaly, M.A., Drs. H. Abd. Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta Timur: Prenada Media.
Manan, Abdul. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Penerbit Kencana.
Mertokusumo, Sudikno. 2006. Pendidikan Hukum di Indonesia dalam Sorotan Periksa – dalam Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks ke-Indonesiaan. Bandung: CV. Utomo.
Sabiq, Sayyid. Tahkik dan Takhrij Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Fikih Sunnah. Jilid 4.
Suadi, Amran. 2023. Hukum Jaminan Perlindungan Perempuan dan Anak. Jakarta: Prenadamedia Group.
Sunarto. 2019. Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata. Jakarta: Prenadamedia Group.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Cet II, Jakarta: Kencana, 2007.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
Kementerian Agama Republik Indonesia. https://quran.kemenag.go.id/quran/per-ayat/surah/65?from=1&to=12, diakses pada tanggal 6 Februari 2024.
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/artikel-hukum/1968-interkoneksi-sistem-sebuah-gagasan-prof-amran-suadi-tentang-jaminan-hak-perempuan-dan-anak-pascaperceraian. Diakses pada tanggal 6 Februari 2024.
https://www.pa-cilegon.go.id/artikel/655-optimalisasi-peran-peradilan-agama-dalam-memberikan-perlindungan-hukum-terhadap-hak-perempuan dan-anak-paska-perceraian. Diakses pada tanggal 6 Februari 2024.
https://www.refworld.org/legal/general/crc/2013/en/95780, diakses pada tanggal 6 Februari 2024.
SIPP Pengadilan Agama Buntok, https://sipp.pa-buntok.go.id, diakses pada tanggal 6 Februari 2024.
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Buntok Tahun 2023, https://drive.google.com/file/d/1vYhjRGhsIDvHE69Vq7u40nZeNtYMiwg/view, diakses pada tanggal 6 Februari 2024.
[1] Kementerian Agama RI, https://quran.kemenag.go.id/quran/per-ayat/surah/65?from=1&to=12, diakses pada tanggal 6 Februari 2024.
[2] Sayyid Sabiq, Tahkik dan Takhrij Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Fikih Sunnah, hlm 118.
[3] https://www.refworld.org/legal/general/crc/2013/en/95780, diakses pada tanggal 6 Februari 2024.
[4] SIPP Pengadilan Agama Buntok, https://sipp.pa-buntok.go.id, diakses pada tanggal 6 Februari 2024.
[5] Laporan Tahunan Pengadilan Agama Buntok Tahun 2023, https://drive.google.com/file/d/1-vYhjRGhsIDvHE69Vq7u40nZeNtYMiwg/view, diakses pada tanggal 6 Februari 2024
[6] Amran Suadi, 2023, Hukum Jaminan Perlindungan Perempuan dan Anak. Jakarta: Prenadamedia Group, hlm 234.